Pages

Text Widget

Jumat, 30 Januari 2015

cerpen



METAMORFOSIS DESA SIDO ASRI
Terdengar suara ssek..ssek..klontang..klontang.. ku lihat dari jendela taksi ternyata bungkus makanan dan kaleng-kaleng bekas yang berhamburan di jalan.
 “DESA SIDO ASRI”, kubaca tulisan yang terpampang di pinggir jalan itu.
Semakin masuk ke lorong jalan tersebut terdengar suara anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet.
                “Ayah , Ibu lihat itu!”, merekapun melihatnya dan kulihat mereka hanya tersenyum.
                “Ada apa dengan desa ini Ayah? Lihat pakaian anak-anak itu dan keadaan desa ini sungguh tak layak disebut sebagai sebuah tempat tinggal Ayah!” tanyaku.
                “Kau tahu Nak, kenapa Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?” tanya ibuku sambil tersenyum.
                “Tidak, memang kenapa?”
                “Ayah ingin mengabdikan diri kepada negeri ini karena negeri inilah yang membuat Ayah sukses di Singapura. Ayah ingin bisa membantu Indonesia menjadi negara yang lebih bersih dan maju daripada Singapura”, jawab ayahku.
“Ibu dan Ayah mencari pengalaman di Singapura untuk bisa membangun Indonesia dan kamu sekarang juga sudah punya banyak pengalaman di Singapura, jadi maukah kamu membantu Ibu dan Ayah untuk membantu Indonesia?”, tambah ibuku.
“Tentu aku mau Ibu”, jawabku dengan semangat.
“Amila lihat itu,  SMA Sido Asri 1 besok kamu akan bersekolah di sana teman Ayah yang tinggal di sini sudah mendaftarkanmu di SMA itu, dan sekarang kita sampai di rumah baru  kita”, kata ayahku.
Keluar dari taksi aku menghela nafas dan terlihat rumah  yang baru dibangun, terlihat apik kulihat rumah tetanggaku sangat jauh berbeda dengan rumah itu.
                “Inikah rumah baru kita, Yah? Ternyata dekat dengan SMA Sido Asri ya Yah?”, tanyaku.
                “Iya Nak, ayo kita masuk ke dalam!”, ajak ayahku.
Ku masuk ke dalam sudah tertata rapi sofa dan meja di ruang tamu, televisi di ruang keluarga, tempat tidur di kamarku, dan meja makan dan peralatan masak di dapur. Aku mendengar adzan magrib, kemudian ku menghampiri ayah dan ibuku.
                “Sudah magrib ayo sholat Ayah!”, ajakku.
                “Iya, mandi dulu ya setelah itu kita sholat berjamaah”.
                “Siap Ayah!”
Setelah sholat magrib kami makan malam dan sambil berbincang-bincang.
                “Setelah ini kita sholat isya, setelah itu kamu nanti istirahat ya karena besok kamu sudah harus sekolah”,  kata ibuku.
                “Iya Bu,”  jawabku.
                                                                                                                ***
Tak terasa suara adzan subuh sudah berkumandang, waktunya sholat dan memulai hari pertama masuk ke sekolah yang baru dengan semangat baru. Aku berangkat dengan jalan kaki dan kulihat ke sekelilingku, sampah yang ada dihadapanku selalu ku ambil dan kubuang pada tempatnya.
                “Huft.. kapan habisnya semua sampah ini? Sungguh miris rasanya melihat ini semua.” batinku.
                “Ah, udah sampai, dimana ya kelasku?”
“Aduh kenapa aku dilihat orang-orang layaknya seorang artis yang berjalan di karpet merah dengan ya jadi grogi” pikirku.
Bermacam-macam tatapan itu tertuju padaku entah sinis, ejekan, ataupun terpesona. Betapa tidak? Itu semua karena hanya aku yang memakai seragam paling bersih dengan wangi parfum bunga mawar yang harum. Dan akhirnya kutemukan kelasku, kulihat ada seorang wanita parubaya yang sepertinya memanggilku.
“Amila ke sini!”, pintanya.
“Iya Bu”, jawabku.
“Saya Bu Era, guru yang akan mengajarmu. Sekarang perkenalkan dirimu!”
“Iya Bu”, jawabku.
                “Nama saya Amila Maulida, saya dari Singapura baru pindah ke Indonesia kemarin. Rumah saya dekat dengan sekolah, jadi jangan sungkan main ke rumah saya.”, kataku.
Ketika berada didepan kelas aku melihat ada dua orang anak yang sejak aku masuk kesekolah ini mereka selalu menatapku dengan sinis kulihat papan namanya.
 “Owwh Erissa dan Hasbi”, batinku.
“Baik, sekarang kamu duduk di situ”, kata bu Era sambil menujuk pada bangku nomor dua dari depan.
“Iya, Bu”, jawabku.
Aku lihat seorang siswi yang mimik wajahnya datar tanpa ekspresi, aku memperkenalkan diri padanya.
“Hai aku amila?”, aku menyapanya.
“Aku sudah tahu”, tetap dengan wajah datarnya.
“Wah aku benar-benar terkenal ya ternyata”, dengan wajah kegeeran aku bergumam. Tiba-tiba dia menyela.
                “Hei aku tahu nama kamu itu, karena tadi kamu baru memperkenalkan dirimu di depan kelas” aku menjawab dengan rasa malu
 “Eh owh aku kira, aku udah benar-benar terkenal hehehe” diapun ikut meringis dan dia berkata “kamu lucu ya... owh ya aku zulfa”.
Ditengah-tengah pelajaran aku merasa tidak nyaman sehingga membuat zulfa terganggu. Bel berbunyi tanda istirahat.
“Ada apa dengan mu?”, tanya Zulfa.
 “Aku tidak nyaman dengan ini semua lingkunganku sekarang sangat bertolak belakang dengan lingkunganku di Singapura”, jawabku.
 “Memang seperti apa Singapura?”, tanyanya lagi.
 “Di sana sangat bersih, indah dan asal kamu tahu di sana ada larangan membuang putung rokok sembarangan, bahkan bagi orang yang membuang putung rokok sembarangan akan di kenai sanksi yaitu denda senilai 3 juta”, jawabku.
“Owh.. Amila sebenarnya sekolah ini akan segera ditutup jika sekolah ini tetap dalam keadaan kotor seperti ini. Itu bermula saat bu Era mendapat undangan untuk mengikuti Lomba Kebersihan Tingkat SMA tahun lalu. Namun karena warga sekolah yang sudah tidak peduli dengan lingkungannya, tak ada persiapan apapun ketika waktunya penjurian sehingga membuat sekolah ini mendapat peringatan seperti itu.”, ceritanya padaku.
“Baiklah aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini” kataku.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”.
                “Aku akan membersihkan semua sampah ini akan aku ubah sekolah ini bahkan jika perlu desa ini, sehingga sekolah ini tidak jadi ditutup.”
“Hmm, bolehkah aku membantu?” dengan ragu-ragu Zulfa bertanya.
“Emm tentu dengan senang hati.”
Ketika aku dan Zulfa memunguti sampah di halaman sekolah bu Era datang menghampiri kami.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”tanya bu Era.
“Kami sedang memunguti sampah, karena kami tidak nyaman dengan kondisi sekolah yang kotor dan kumuh” jawabku.
 “Ia bu kami ingin mengubah sekolah ini bahkan jika perlu desa ini”,tambah Zulfa.
“Bukankah itu kata-kataku?”, ku bisikkan pada Zulfa, kami berdua tertawa cekikian.
“Wah Ibu sangat bangga dengan kalian” kata bu Era.
“Ah ibu bisa saja, sebenarnya itu semua tanggung jawab kitakan bu?”, Zulfa menjawab.  “Ya itu benar, itu semua tanggung jawab kita, okelah kalau begitu bolehkah Ibu membantu?”, bu Era menjawab.
“Dengan senang hati ,Bu.”, dengan serentak kami menjawab.
Di sisi lain ku lihat Erissa dan Hasbi mengintip dari dalam jendela kelas, entah apa yang mereka lakukan. Setelah pulang sekolah Erissa dan Hasbi dengan raut wajah yang  jengkel, mereka tiba-tiba menghampiri ku dan Zulfa.
“Hey kalian, iya kalian berdua.. memang jago deh cari muka di hadapan Bu Era, kalian bersih- bersih kelas, menaman bunga, dan buang sampah pada tempatnya itu cuma pura- pura kan, kalian pengen dipujikan sama guru-guru yang ada di sekolah ini?”, ejekan Erissa kepada kami.
                “Kami melakukan semua ini agar kita semua merasa nyaman saat belajar di sekolah dan agar sekolah ini tidak jadi ditutup, bukan untuk ajang mencari muka di depan siapapun”, jawabku.
”Kalian itu emang benar-benar gak punya perasaan, kami berdua bersih-bersih supaya sekolah kita bersih dan nyaman, eh kalian malah nuduh yang enggak-enggak sama kita, apa sih yang kalian inginkan?”,bentak Zulfa.
“Kita itu nggak suka kalau kalian cari muka di hadapan Bu Guru. Apalagi kamu tuh Mil, kamu kan anak baru di sini sudah pinter banget cari muka di hadapan Bu Guru, kita paling nggak suka anak baru sok rajin dan paling berkuasa di sini”, jawab Hasbi.
“Heh kalian seharusnya itu senang dan bangga punya sahabat seperti dia yang senang dengan kebersihan” tegas Zulfa.
Dan pada akhirnya perdebatan itu menghasilkan pertengkaran antara mereka semua.
”Halah terserah kalian berkata apa tapi kalian hanya bisa cari muka di depan guru-guru, ayo bi kita pergi saja jangan sampai kita seperti mereka” kata Erissa.
”Oke ayo” jawab Hasbi dengan senyumnya yang sinis.
Aku dan Zulfa pulang ke rumah kami masing-masing.

***
Keesokan harinya aku tidak melihat Erissa, bangkunya kosong tak berpenghuni. tidak masuk sekolah.
 “Erissa hari ini tidak masuk ayahnya tadi menelpon dia dibawa ke rumah sakit karena terkena demam berdarah, diduga nyamuk tersebut berasal dari sekolah kita. Oleh karena itu hari ini kita akan pulang pagi karena sekolah kita akan difogging agar tidak ada korban demam berdarah lagi.” Kata bu Era.
“Horee...” teriak semua siswa.
“Apakah ada yang mau menjenguk Erissa setelah pulang sekolah nanti?” tanya bu Era.
Semua siswa terdiam.
”Zul nanti pulang sekolah kita jenguk Erissa yuk, kasian dia gak ada yang jenguk”ajakku.
 “Kamu itu gimana sih, kamu kan sudah dikasarin sama dia tetapi kenapa kamu tetap baik sama dia? Aku gak mau jenguk dia” jawab Zulfa.
“Kamu tidak boleh seperti itu Zul, biarpun dia jahat sama aku tapi dia itu tetap teman kita dan asal kamu tau kejahatan tidak seharusnya dibalas dengan kejahatan, mungkin dia kemarin khilaf berbuat gitu”sanggahku.
“Benar kata kamu kalau kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Iya sudah aku mau ikut jenguk dia”, jawab Zulfa.
“Nah gitu dong, itu baru sahabatku”, kataku.
“Kami mau jenguk Erissa Bu nanti setelah pulang sekolah.” Kata Zulfa.
“Baik, nanti hati-hati ya di jalan.” Kata bu Era.
Teeet... teeet...teeet... bel berbunyi menandakan waktunya pulang, aku dan Zulfa langsung bergegas menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit kami menemui Erissa.
“Kalian.. kenapa bisa ke sini?” Erissa kaget.
“Kami ingin menjenguk kamu, apa kamu baik-baik saja?” jawabku.
“Aku baik-baik saja, maafkan aku karena kemarin aku...”
“Iya tidak apa-apa, jangan dipikirkan lagi sekarang kita jangan bertengkar lagi oke?” jawab Zulfa.
“Oke bagaimana kalau kita sekarang berteman? Ajakku dengan senyuman.
“Iya tentu aku mau. Terima kasih atas semuanya, setelah aku sembuh aku akan membantu kalian untuk mengubah sekolah ini bahkan desa ini.”  Jawab Erissa.
                “Kau juga tahu kata-kata itu?” tanya Zulfa.
                “Hehe.... iya aku mendengar kalian ketika berbicara dengan Bu Era.” Jawab Erissa.
Kami tertawa bersama.
                                                                                                ***
Setelah sembuh Erissa dan Hasbi ikut membantu ku dan Zulfa membersihkan sekolahan sehingga membuat sekolahannya itu menjadi bersih dan indah dibandingkan sekolah lainnya. Dengan perubahan itu semua siswa ikut membantu membersihan sekolahan dan membuang sampah pada tempatnya bahkan membantu menanam bunga di halaman. Karena kebersihan dan keindahan SMA Sido Asri yang sekarang, sekolah ini tidak jadi ditutup. Bahkan sekolah yang tersohor dengan kotornya itu, kini berbanding terbalik menjadi sekolah terbersih dan nyaman se-nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan bahwa SMA Sido Asri kini menjadi juara pertama Lomba Kebersihan Tingkat SMA. Bahkan sekarang Desa Sido Asri juga menjadi desa terbersih se-nasional. Aku berpidato untuk mewakili sekolahku.

“Teman-teman indah bukan jika kita bisa membuat lingkungan kita jadi nyaman dan bersih. Dan bukankah kita juga diajarkan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Dan juga kita sebagai manusia kita diciptakan Allah SWT sebagai khalifah di bumi untuk merawat dan menjaga bumi kita.”